Pemeriksaan Pajak, Masuk Ke Neraca Ataukah Laba Rugi?

Di dunia perpajakan, selain pemeriksaan pajak, juga dikenal pembukuan dan pencatatan pajak. Sebagai warga Negara yang baik, maka kita juga harus memahami perbedaan hal ini. Selain itu, Anda yang bekerja didunia perpajak, juga harus paham perbedaan pembukuan dan pencatatan pajak sehingga meminimalisir kesalah pada saat pelaporan pajak tahunan atau SPT.

Apa itu Pembukuan?

Menurut UU KUP, Pembukuan merupakan suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang juga meliputu harta, modal, kewajibab, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan seperti pembuatan neraca, laporan laba rugi untuk periode pada tahun pajak tersebut.

Apa itu Pencatatan & Pemeriksaan Pajak?

Sedangkan, pencatatan adalah aktivitas pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur tentang penerimaan bruto atau penghasilan kotor dan peredaran sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, hal ini juga termasuk penghasilan  yang bukan merupakan objek pajak dan atau yang dikenali pajak yang bersifat final.

Berikut pihak yang melakukan pemeriksaan pajak atau pembukuan dan pencatatan pajak sesuai pasal 28 UU KUP, yakni:

Pihak yang wajib menyelenggarakan pembukuan

  1. Wajib Pajak Badan
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 miliar.

Pihak yang wajib menyelenggarkan pencatatan

  1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu kurang dari Rp 4,8 miliar, dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat memberitahukan ke direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Berbicara soal pajak pertambahan nilai yakni pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN disebut juga Value Added Taz (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN adalah jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain yang bukan pihak penanggung pajak, atau dengan kata lain, pihak pnanggung pajak (konsumen) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran hingga pelaporan PPN ada pada pihak pedagang sehingg ada istilah pengusaha kena pajak atau PKP. Dalam penghutungan PPN yang harus disetorkan oleh pengusaha kena pajak dikenal juga dengan istilah pajak keluaran dari pajak masukan. Pajak keluaran yakni PPN yang dipungut saat pengusaha kena pajak menjual produknya, sedangkan pajak masukan yakni PPN yang dibayar ketika PKP membeli, membuat dan memperoleh produknya.

Di Indonesia sendiri, menganut sistem tariff tunggal untuk PPN yakni sebesar 10%. Dasar hokum yang utama dipakai adalah untuk penerapan PPN di Indonesia adalah UU no.8 Tahun 1983. Ini perubahannya:

  • UU No.1 Tahun 1994
  • UU No.18 Tahun 2000
  • UU No. 42 Tahun 2009

Pemeriksaan pajak dan pencatatan PPN masuk ke Laba Rugi atau laporan neraca? Seringnya konsumen melihat kata PPN setiap setelah berbelanja, nyatanya tidak membuat konsumen sungguh memahami apa itu PPN. Mungkin bagi beberapa orang ini terkesan sepele namun Anda dihadapkan pada pemeriksaan pajak dan pencatatan atau administrasi PPN. Masih banyak diantara kita akan laporan keuangan, karena kehadiran konsultan pajak di perusahaan bisa membuat pelaporan PPN terasa lebih mudah.

Lalu bagaimana dengan administrasi didalam perusahaan tersebut? Apakah yang ada di laporan fiscal sudah sesuai dengan apa yang disajikan pada laporan komersial?

Dari beberapa pengalaman, apalagi pada perusahaan kecil menengah, cukup jarang menemukan catatan komersial perusahaan khususnya PPN yang sinkron dengan laporan pemeriksaan pajak. Namun, hal ini bukan menjadi masalah, karena yang cukup penting adalah pelaporan pajak benar terlebih dahulu. Untuk masalah sinkronosasi di laporan komersial bisa juga dilakukan nanti.

Hal Penting yang Berhubungan dengan PPN

Ini merupakan hal yang penting untuk diketahui sehubungan dengan PPN:

  • Hampir disetiap transaksi dagang adalah objek PPN, namun nyatanya ada beberapa golongan barang dan jasa yang dikecualikan atau tidak kena PPN.
  • Wajib pajak yakni perseorangan atau badan usaha yang wajib melakukan pemungutan dan pelaporan PPN yakni yang sudah berstatus “Pengusaha Kena Pajak” atau PKP.
  • Batas minimal omzet setahun untuk status pengusaha kena pajak adalah Rp 600 juta. Ini artinya wajib pajak yang memiliki omset per tahun tersebut atau lebih, wajib hukumnya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak atau PKP. Wajib pajak yang omzet per tahunnya dibawah Rp 600 juta bisa mengajukan permintaan agar dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, namun sifatnya tidaklah wajib.
  • Penjual barang atau jasa yang sudah berstatus PKP, sangat wajib melakukan pmungutan PPN atas barang yang terjual, terlepas dari apakah pembelianya sudah berstatus PKP atau belum.
  • Pembeli barang atau jasa yang sudah berstatus PKP maka berhak menerima “faktur pajak”. FP ini sebagai bukti bahwa pembelian sudah dipungut PPN. Baginya, faktur pajak yang diterima atas pembelian ini disebut juga dengan “Faktur Pajak Masukan” atau FPM yang sering disebut dengan kredit pajak. Sedangkan bagi penjual, faktur pajak yang sudah dikeluarkan untuk konsumen disebut juga dengan FPK atau Faktur Pajak Keluaran.
  • Tarif PPN adalah 10%
  • Besarnya “PPN Dipungut” dihitung dengan = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif = Nilai invoice x 10%.
  • Besarnya “PPN Terutang” dihitung dengan = PPN Dipungut – Kredit Pajak (Faktur Pajak Masukan)
  • Transaksi penjualan ekspor (ke luar wilayah pabean Indonesia) tarif PPN-nya nol, sehingga PPN-nya otomatis juga nol.

Jadi, PPN masuk ke laporan laba rugi atau neraca tentu tergantung dari perusahaan yang ditangai sudah berstatus pengusahan kena pajak atau belum. Jika sudah, maka setiap unsur PPN masuk ke neraca, didalam akun Utang PPN disisi passiva. Sebaliknya, jika perusahaan belum berstatus pengusaha kena pajak, maka tidak perlu mencatat PPN, setiap pembelian diakui sebesar total tagihan untuk nantinya dialokasikan ke akun biaya atau akun persediaan barang tergantung dari barang apa yang dibeli.