Kawasan Berikat dan Hubungannya Dengan PPN

Pengertian Kawawan Berikat

Kawasan Berikat (KB) adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. (Sumber. KMK 291/KMK.05/1997 dan perubahannya).

Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120/PMK.04/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 Tentang Kawasan Berikat. Butir penting dalam PMK ini adalah pemberian relaksasi pembatasan fasilitas di Kawasan Berikat dengan memperluas ijin memasuki pasar domestik atas hasil produksi kawasan berikat dari sebelumnya hanya 25% menjadi 50%.

Pada kesempatan Kali ini Saya ingin menyoroti terkait pemberian fasilitas perpajakan yang tertuang dalam Pasal 14 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011, yang berbunyi :

“Penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), tidak dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, diberikan atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat”

Yang menjadi permasalahan adalah fasilitas PPN/PPnBM yang diberikan atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat menurut Pasal 14 ayat (4) PMK ini berupa pembebasan dari pengenaan PPN. Hal ini tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah 10 Tahun 2012 Pasal 29 ayat (1) yang memberikan fasilitas atas pemasukan barang tersebut berupa PPN tidak dipungut.

Fasilitas PPN di Kawasan Tertentu atau Tempat Tertentu

Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1984 mengamanatkan pemberian fasilitas berupa PPN terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, salah satunya adalah untuk kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean.

Pasal 16B ayat (1) Undang-undang PPN 1984

“Pajak terhutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk semebtara waktu maupun selamanya, untuk :

  1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
  2. penyerahan Barang kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
  3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
  4. pemanfaatan Barang kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pebean

diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Bentuk kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 adalah Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas, terdiri dari Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Sabang, Batam, Bintan dan Karimun.

Tempat tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 adalah Tempat Penimbunan Berikat yang dapat berbentuk Gudang Berikat, Kawasan Berikat, Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat, Toko Bebas Bea, Tempat Lelang Berikat atau Kawasan Daur Ulang Berikat.

            Terkait Kawasan Berikat, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013.

Tujuan dari pemberian fasilitas ini adalah terutama untuk mendukung berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.

Fasilitas berupa PPN terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, hakikatnya sama yaitu pembeli atau penerima jasa tidak perlu membayar PPN yang terutang dan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual atau pemberi jasa tidak perlu memungut PPN yang terutang. Yang membedakan dari kedua fasilitas PPN tersebut adalah dari sisi pengkreditan Pajak Masukannya.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) yang mendapat fasilitas tidak dipungut PPN, Pajak Masukan atas perolehannya dapat dikreditkan. Sementara atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN, Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.

Fasilitas PPN yang diberikan atas kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 dan perubahannya serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012.

Terkait pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat (salah satu bentuk Tempat Penimbunan Berikat), fasilitas PPN yang diberikan menurut kedua ketentuan tersebut berbeda satu sama lain. Jika menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 mendapat fasilitas berupa pembebasan dari pengenaan PPN, namun menurut Peraturan Pemerintah 10 Tahun 2012 mendapat fasilitas berupa PPN tidak dipungut.

Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah 10 Tahun 2012

“Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan berikat, dilakukan dengan ketentuan “:

  1. dalam hal barang merupakan barang asal Luar Daerah Pabean, diberikan penangguhan bea masuk, tidak dipungut PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat;
  2. dalam hal barang merupakan barang asal Kawasan Bebas atau barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean, tidak dipungut PPN dan/atau diberikan pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat”

Bagaimana Seharusnya

Implikasi dari terminologi PPN terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, bagi pembeli atau penerima jasa yaitu Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB tidak perlu membayar PPN yang terutang, dan bagi Pengusaha di Kawasan Bebas selaku penjual atau pemberi jasa tidak perlu memungut PPN yang terutang. Terlebih lagi Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak, sehingga tidak ada kepentingan Pengusaha di Kawasan Bebas itu untuk mengkreditkan Pajak Masukannya. Jadi sebenarnya mau terminologinya “dibebaskan” atau “tidak dipungut” tidak menjadi masalah dalam implikasi perpajakannya.

Namun peraturan perundang-undangan harus disusun secara benar sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Harus dipastikan pemberian fasilitas PPN atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat, apakah menggunakan terminologi “dibebaskan” atau “tidak dipungut”.

Fasilitas PPN yang berbeda perlakuannya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 menurut ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan di atas, nyata bahwa tidak memenuhi huruf d dan e. Seharusnya kedua peraturan perundang-undangan tersebut memberi perlakuan yang sama terhadap pemberian fasilitas PPN tersebut.

Lalu bagaimanakah seharusnya, apakah fasilitas yang diberikan “dibebaskan” atau “tidak dipungut”

Jika kita melihat tujuan pemberian fasilitas di kawasan berikat yaitu mendorong ekspor, maka seyogyanya hasil produksi yang diekspor harus tidak mengandung unsur PPN, agar produk yang diekspor dapat bersaing di pasar global. Oleh karena itu fasilitas yang semestinya diperoleh adalah PPN terutang tidak dipungut.

Berbeda jika fasilitas yang diberikan adalah dibebaskan dari pengenaan PPN. Maka PPN yang dibayar atas perolehan barang/jasa oleh PKP yang melakukan penyerahan, akan dibiayakan dan melebur menjadi harga jual/penggantian. Sehingga masih terdapat unsur PPN yang melekat dalam harga jual/penggatian barang/jasa tersebut.

Selanjutnya, jika dilihat kekuatan hukum, tentunya Peraturan Pemerintah lebih kuat dibandingkan Keputusan Menteri Keuangan, namun dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013, yang notabene lebih baru tetapi tidak mengubah redaksional Pasal 14 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011, maka hal ini tetap akan membingungkan pada pelaksanaannya.

Penutup

Perbedaan perlakuan atas pemberian fasilitas PPN terkait pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 perlu segera diluruskan agar tidak menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya di lapangan.

Mengingat kebijakan baru terkait Kawasan Berikat adalah untuk meredam pelemahan pasar global akibat penguatan nilai tukar dollar Amerika terhadap hampir seluruh mata uang di dunia termasuk rupiah, tentunya kebijakan ini bersifat sementara hanya untuk jangka waktu yang pendek karena tujuan utama kebijakan kawasan berikat tetap untuk mendorong ekspor. Maka Penulis usulkan agar redaksional Pasal 14 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 dapat disesuaikan dengan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012, yaitu pemberian fasilitas PPN terutang tidak dipungut, melalui perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 berikutnya.