Bagaimana Mengakui Harta Tetap Properti Yang Belum Rampung?
Pada dasarnya akuntansi merupakan kegiatan mulai dari menerima pendapatan dari transaksi yang dicatat dalam jurnal hingga menjadi laporan keuangan. Dapat dikatakan akuntansi merupakan hal yang sangat penitng bagi operasional perusahaan. Proses akuntansi sendiri diawali dengan adanya bukti transaksi, jurnal, posting buku besar, neraca saldo, jurnal penyesuaian, neraca lajur, laporan keuangan, jurnal penutup, neraca saldo, dan jurnal balik.
Dari berbagai tahapan tersebut diatas, laporan keuangan neraca terdiri dari aktiva lancar, aktiva tetap, kewajiban dan modal. Pada artikel ini akan membahas aktiva tetap, dimana dalam bentuk bangunan yang belum selesai.
Apa yang dimaksud dengan aktivat tetap?
Menurut Zaki Baridwan (1992, hal 271): “Aktiva tetap berwujud yang sifatnya relatif permanen (menunjukkan sifat bahwa aktiva yang bersangkutan dapat digunakan dalam jangka waktu yang relatif cukup lama) yang digunakan dalam kegiatan perusahaan”.
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2002, Nomor 16.2 Paragraf 05) “Aktiva tetap adalah aktiva tetap berwujud yang digunakan dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu yang digunakan dalam operasi perusahaan. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun”.
Apa saja sifat aktiva tetap atau Harta tetap?
1. Merupakan barang fisik yang digunakan untuk memperlancar produksi barang-barnag lain
2. Semua aktiva tetap memiliki usia terbatas, yang pada akhirnya harus dibuang atau diganti
3. Nilai aktiva tetap didapat dari kemampuannya untuk mengesampingkan pihak lain dalam mendapatkan hak – hak yang sah atas penggunanya dan bukan dari pemaksaan dari suatu kontrak.
4. Aktiva tetap seluruhnya nonmoneter
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengakuan harta tetap properti yang belum rampung, mari kita ketahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar dalam akuntansi secara umum.
Tahapan apa saja dalam perlakuan akuntansi secara umum?
1.Analisa : menganalisa bukti transaksi (kwitansi, nota dll) satu per satu. Perhatikan apakah nomor nota tercantum? tanggal berapa nota dibuat? darimana atau siapa penjualnya? apakah dikenakan PPN atau tidak? untuk keperluan atau departemen apa transaksi tersebut? apakah sudah dilakukan pembayaran? apakah barang sudah diterima? apakah transaksi tersebut mendapatkan persetujuan dari manajemen perusahaan?
2.Ukur: yang dimaksud dengan ukur adalah melakukan penghitungan angka dalam nota. Apakah sudah akurat sesuai keadaan sebenarnya? Apakah jumlah total sudah benar?Apakah nominal yang ditagihkan sudah sesuai?
3.Akui: melakukan pencatatan transaksi yang tercantum dalam nota sesuai dengan hasil analisa dan pengukuran
4.Laporkan: pada akhir periode buku, semua transaksi yang sudah dianalisa, diukur dan diakui, kemudian Anda susun untuk membuat Laporan Keuangan yang terdiri dari Neraca, Laba-Rugi, Perubahan Modal, Arus Kas.
5.Ungkapkan: beberapa transaksi tertentu dalam proses analisa- ukur-akui-laporkan, mungkin mengandung asumsi dan estimasi. Agar tidak timbul salah persepsi, maka asumsi dan estimasi yang ada dalam laporan keuangan harus diungkapkan secara jelas dengan mencantumkan catatan yang menjelaskan asumsi dan estimasi tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa jenis transaksi apapun harus selalu melewati siklus atau proses akuntansi tersebut. Namun, terdapat perbedaan antara satu transaksi dengan yang lainnya mengenai kapan diakui, berapa besarnya, dilaporkan dalam bentuk apa . Tata cara mengukur-mengakui-menyajikan dan mengungkapkan masing-masing transaksi tersebut disebut dengan Perlakuan Akuntansi. Contohnya, perlakuan akuntansi untuk kas akan berbeda dengan piutang, persediaan, aset tetap dan sebagainya.
Perbedaan perlakuan pada masing-masing transaksi tersebut dikarenakan karakter yang dimiliki juga berbeda. Misalnya: saat membayar listrik, perusahaan hanya akan membayar sesuai nilai penggunaan listrik, sehingga biaya listrik yang diakui hanya sebesar jumlah yang digunakan. Namun, ketika perusahaan membeli aset tetap yang berupa AC misalnya, nilai “Aset Tetap AC” yang diakui hanya sebesar nilai AC ditambah dengan biaya-biaya yang menyertainya (misal ongkos pemasangan).
Langkah apa saja yang harus dilakukan terhadap pengakuan harta tetap properti yang belum jadi?
1. Analisa : analisa dalam hal ini adalah menganalisa akte jual beli rumah atau bangunan. Adapun informasi yang harus didapatkan adalah:
a. Apakah transaksi tersebut sudah disetujui direktur? Jika transaksi dilakukan secara langsung oleh direktur, maka transaksi tersebut dinilai sah
b. Untuk keperluan apa perusahaan membeli bangunan? Siapa yang menggunakan? Apakah penggunaan bangunan tersebut terkait dengan operasional perusahaan?. Jawaban dari pertanyaan tersebut sangat penting, mengingat akan menentukan apakah transaksi akan diakui sebagai Aset Tetap Bangunan yang akan dimanfaatkan untuk menunjang operasional perusahaan atau Aset Investasi Bangunan yang suatu saat akan dijual kembali. Misalnya dalam hal ini bangunan diberi untuk digunakan sebagai gudang penyimpanan barang
c. Siapa penjualnya? Apakah individu atau perorangan, perusahaan umum, atau developer?. Hal ini terkait dengan perpajakan. Dalam kasus ini anggap saja perusahaan membeli dari developer.
d. Apakah sudah dilakukan pembayaran dan berapa jumlahnya? Apakah ada biaya tambahan?. Misalnya diketahui jika pembayaran bangunan dilakukan melalui transfer bank pada tanggal 15 Februari 2015 dengan nomor nota 100478 senilai Rp. 1,5 M. Kemudian juga terdapat pembayaran komisi perantara senilai Rp. 20 Juta, dan kwitansi pembayaran notaris sebesar Rp. 6,5 Juta. Jadi bangunan tersebut dibeli beserta biaya-biaya yang menyertai sudah dibayar lunas.
e. Apakah bangunan sudah jadi? Jika bangunan sudah jadi, apakah langsung digunakan? Apakah perusahaan langsung mendapatkan manfaat atau harus direnovasi terlebih dahulu? Jika belum jadi, kapan jadinya?. Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan kapan perolehan atas bangunan ini diakui dan apakah akan diakui sebesar nilai bangunan saja atau ditambah dengan biaya yang menyertainya. Misalnya, dari akte jual beli diketahui bahwa bangunan akan siap pakai selambat-lambatnya tangan 1 Maret 2015.
f. Apakah pembelian tersebut dikenakan PPN atau PPh? Siapa yang menanggung PPN atau PPhnya? Apakah sudah disetor dan dilaporkan? Berapa jumlahnya?. Jawaban dari pertanyaan ini pentuk untuk pengakuan adanya PPN atau PPh. Anggap saja dalam kasus ini developer yang menjual bangunan berstatus PKP dan pembelian bangunan telah dikenakan PPN sebesar 10%.
2. Mengukur : Seperti yang tercantum pada PSAK 16 (Paragraf 15) menyebutkan, “Suatu aset tetap yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan.” Dan Paragraf 16 menyebutkan, “Biaya perolehan aset tetap meliputi:(a) harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak boleh dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan potongan-potongan lain; (b) biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan intensi manajemen; (c) estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset. Kewajiban atas biaya tersebut timbul ketika aset tersebut diperoleh atau karena entitas menggunakan aset tersebut selama periode tertentu untuk tujuan selain untuk menghasilkan persediaan.” maka besarnya nilai pembelian bangunan yang akan diakui yaitu:
Transfer bank = Rp 1.5 Milyar
Komisi perantara = Rp 20 Juta
Pembayaran notaris = Rp 6.5 Juta
PPN Tak bisa dikreditkan = Rp 150 Juta (10% x Rp 1.5 Milyar)
Total Harga Perolehan Rumah = Rp 1,676,500,000
3. Mengakui : Ada 3 masalah krusian yang akan muncul terkait dengan proses pengakuan, yaitu:
a. Apa yang diakui? : menurut PSAK 16 (Paragraf 07) menyebutkan, “Biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika:(a) kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut; dan (b) biaya perolehan aset dapat diukur secara andal. Pada proses analisa diketahui bahwa bangunan dibeli perusahaan untuk digunakan sebagai gudang”. Dengan demikian transaksi ini sebagai perolehan Aset Tetap – Gudang, dimana di sisi debit dan pengeluaran kas di sisi kredit.
b. Berapa nilai yang diakui? : dari proses pengukuran diketahui perolehan Aset Tetap Gudang di sisi debit dan pengeluaran kas di sisi kredit akan diakui sebesar Rp 1,676,500,000. Sehingga dalam jurnal atas pembelian bangunan akan dicatat :
[Debit]. Aset Tetap – Kantor dan Gudang = Rp 1,676,500,000
[Kredit]. Kas = Rp 1,676,500,000
c. Kapan diakui? – PSAK 16 Paragraf 7 diatas seolah-olah menyatakan bahwa, asalkan manfaatnya sudah pasti bagi perusahaan dan nilai perolehannya telah bisa diukur secara andal, maka aset bisa diakui. Namun masalah yang terjadi adalah fisik aset belum jadi. Lalu bagaimana mengakuinya sebagai aset bangunan?. Karena PSAK tidak mengatur hal ini, maka sebaiknya jangan mengakui sebagai aset gudang. Mengingat fisik bangunan belum jadi. Sebagai gantinya, transaksi ini diakui sebagai deposit atau uang muka bangunan. Uang muka bangunan termasuk dalam kelompok aset yang ditempatkan setelah Persediaan, sebelum Aset Tetap, bersama-sama dengan kelompok uang muka lainnya, seperti uang muka supplier dsb. Sehingga pencatatan pada jurnal menjadi:
[Debit]. Uang Muka Bangunan = Rp 1,676,500,000
[Kredit]. Kas = Rp 1,676,500,000
Lalu kapan bangunan tersebut akan diakui sebagai aset gudang?
Pada saat bangunan diserahterimakan dan dibaliknamakan dari developer ke perusahaan. Pada saat itu maka dibuat jurnal penyesuaian untuk menghapus uang muka bangunan sekaligus mengakui sebagai aset gudang, seperti:
[Debit]. Aset Tetap – Gudang = Rp 1,676,500,000
[Kredit]. Uang Muka Bangunan = Rp 1,676,500,000
Setelah jurnal penyesuaian dimasukkan pada akun “Uang Muka Bangunan” maka akan bersaldo Nol di satu sisinya, dan akun Aset – Gudang akan muncul dengan saldo sebesar nilai perolehannya.
Dalam bisnis, melakukan pembayaran dimuka atas barang yang secara fisik belum jadi merupakan hal yang wajar, namun mengandung resiko yang besar. Karena itu perlu ada sistem pengendalian yang ketat. Mengakui pembayaran atas bangunan yang belum jadi sebagai uang muka merupakan cara yang tepat untuk hal tersebut. Dengan demikian pihak manajemen akan selalu ingat setiap kali melihat neraca dimana kas perusahaan masih ada di tangan developer, sehingga manajemen akan selalu memonitor proses pembangunan tersebut.