Pada 23 Juni 2008, Menkominfo Mehammad Nuh “mengharuskan” Kamar Dagang dan Industri Indoensia (Kadin) untuk menggiatkan industri konten lokal telematika. Kalangan perusahaan yang tergabung di institusi tersebut diharapkan dapat menggunakannya minimal 50%.
Pernytaan tersebut sebagai “lecutan” bagi Kadin atau para pelaku bisnis IT untuk menggunakan produk dalam negeri dalam hal ini IT lokal. Masalahnya akan percuma jika lokal sudah bikin tapi tidak dipakai. Untuk itu, para petinggi negara harus berupaya menggenjot para pengusaha atau institusi di negara ini untuk menggunakan produk IT lokal.
Meski mendorong produk IT lokal agar lebih maju, Menkominfo tidak serta memangkas peran asing. Pihak asing tetap diberikan peluang asalkan mau bekerja sama dengan lokal. Kebijakan ini diharapkan agar lokal bisa terangkat dan maju di masa mendatang. Sementara Kadin pun tidak akan dicap hanya sebagai tempat dagang saja. Namun yang menjadi masalah, apakah produk IT lokal bisa bersaing dengan produk IT asing yang kualitasnya selama ini dinilai lebih baik? Mungkinkah produk IT lokal di masa mendatang menjadi “produk tangguh” di negaranya sendiri?
Bisnis IT (information technology) di Indonesia sering dianggap jalan di tempat, bahkan diramalkan akan mati dilindas para pemain manca-negara yang berkespansi ke negeri ini. Namun jika diamati, anggapan tersebut sebenarnya hanya “isapan jempol”.
Memang, perusahaan yang berkarier dan berbisnis di bidang IT banyak yang bubar maupun jalan di tempat. Tetapi sejatinya banyak juga perusahaan yang tetap bertahan bahkan berkembang dibidang ini. Pro kontra seperti ini tentu wajar dan maklum dalam berbisnis. Ini tergantung pelaku pasar itu sendiri, sejauh mana mereka bisa melobi dan mengembangkan usahanya itu.
Seperti dimaklumi bahwa bisnis IT memiliki karakteristik yang sama dengan bidang usaha lainnya. Standar perencanaan, strategi dan manajemen bisnis di bidang IT menggunakan kaidah yang digunakan oleh prinsip bisnis secara umum.
Perbedaan karakteristik lebih disebabkan masih mudanya usia disiplin IT itu sendiri dibandingkan dengan disiplin lainnya. Misalnya, perdagangan eceran sudah berkembang selama ribuan tahun. Jika pun ingin membandingkan dengan bisnis teknologi dan rekayasa, industri rekayasa seperti logam sudah berkembang sejak berabad lampau. Sedangkan IT mulai berkembang bisnisnya di era tahun 50-an. Berarti usia pengembangannya belum mencapai seabad.
Percepatan metodologi dan konsep yang diterapkan dalam bisnis ini pun membuat kompetisi sedemikian cepat dan mampu menggerus para pelaku yang lamban dalam mengembangkan temuan dan kreasi baru yang bermanfaat secara luas di masyarakat.
Kesadaran mengenai hal tersebut kebanyakan kurang dipahami maupun diantisipasi oleh para pelaku bisnis IT. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di lingkungan usaha negeri ini saja, tapi di negara-negara pelopor bisnis IT pun mengalami hal yang relatif sama. Hanya saja di negara-negara tersebut bermunculan raksasa-raksasa bisnis IT yang secara langsung maupun tidak langsung mengangkat posisi negaranya, baik secara ekonomi, sosial maupun politik, sehingga terlihat bahwa peran pemerintah memiliki posisi strategis dalam mengembangkan bisnis IT lokal negerinya.
Sayangnya posisi strategis pemerintah di negeri ini masih belum memberikan kontribusi yang cukup terasa dalam mengembangkan bisnis IT lokal. Padahal sejak tahun 1992, Departemen Dalam Negeri sudah mengembangkan KPDE (Kantor Pengolahan Data Elektronik) yang harus dimiliki oleh setiap Pemda di Indonesia.
Namun, KPDE hingga saat ini lebih berperan sebagai pemusatan proyek-proyek IT dari pada kepentingan sebagai stimulus pengembangan pemanfaatan IT, apalagi hingga mendorong bisnis IT di daerah.
Mengapa kita tidak belajar dari India yang akselerasi pengembangan bisnis IT-nya didukung oleh pemerintahnya? Bahkan hingga ke rumah-rumah di perdesaan pun diisi oleh anak-anak yang menjadi tenaga outsourcing proyek-proyek IT. Atau bercermin pada Vietnam yang sejak tahun 2000 sudah mencanangkan program pengiriman tenaga kerja domestik ke luar negeri sebanyak 10.000 orang per tahun di bidang IT.
Bangsa Indonesia seharusnya bangga jika ada perusahaan yang mengedepankan produk IT lokal. Seperti yang terjadi pada 10 Desember 2008, misalnya, PT Zahir Internasional yang terkenal dengan merek dagang Zahir Accounting meluncurkan inovasi terobosan berupa software bersistem sewa dengan nama Zahir Merdeka.
Chairman PT Zahir Internasional, Fadil Fuad Basymeleh mengatakan konsumen yang hendak menggunakan aplikasi ini tidak perlu direpotkan membeli software hingga jutaan. Mereka cukup memberli voucher isi ulang untuk aktivasi minimal 30 hari transaksi.
Menurutnya, ada empat pilihan paket untuk menggunakan Zahir Merdeka yang bisa disesuaikan untuk kebutuhan usaha. Edisi Small Business Accounting dijual Rp 34.000, edisi Flexy Money, Rp130.000, Flexy Trade Rp137.000, dan terakhir Persinal juga Rp137.000. semua harga itu untuk mengaktifkan software selama 30 hari. Konsumen dapat menambahkan fasilitas pada setiap edisi yang dipilih dengan batasan harga maksimal Rp171.875.
Usaha membangkitkan dan mengembangkan produk IT lokal yang dilakukan PT Zahir Internasional ini setidaknya menuai nilai tambah dan positif di kalangan pelaku bisnis IT dan juga pemerintah Indonesia. Ini jelas akan mendongkrak image masyarakat dan menjadikan software lokal semakin populer.
Ada dua indikasi yang bisa dipakai untuk melihat bahwa perkembangan software lokal mulai populer di Indonesia. Pertama, laporan Research dari IDC: jumlah software house atau independent software vendor (ISV) di Indonesia tahun 2006 lalu tercatat sekitar 250, dan terus berkembang hingga mencapai 500 dalam 5 tahun kedepan. Jumlah pengembang profesional sampai tahun 2006 tercatat 56.500 dan terus berkembang hingga mencapai 71.600 sampai tahun 2008 (total developer dunia mencapai 13,5 juta).
Kedua, perkembangan komunitas pengembang di Indonesia tercatat lebih dari 200 komunitas, forum dan milis pengembang, baik yang berkumpul karena kesamaan bahasa pemrograman yang digunakan, atau bidang software yang digarap. Penemuan menarik bahwa banyak proyek-proyek besar (sistem eGovernment, eLearning, dsb) dibantu oleh developer community yang memproduksi software dalam bentuk freeware maupun opensource. Banyak yang sudah mulai berkontribusi untuk project opensource secara terbuka.
Laporan IDC juga mencatat bahwa dalam 5 tahun (2004-2009), sektor IT di Indonesia di dominasi oleh IT Services. Pertumbuhan ini dapat memberikan 81.000 lapangan pekerjaan dan menumbuhkan 1.100 perusahaan IT baru yang dapat memberikan penghasilan pajak sebesar 1,1 miliar dolar AS dan berkontribusi sebersar 12 miliar dolar AS terhadap GDP. Dalam periode tersebut software spending naik hingga mencapai 11,4 persen dari total IT spending, khususnya di market vertical. 29,9 persen dari seluruh pekerja IT di Indonesia akan terlibat dalam pengembangan, pendistribusian atau layanan implementasi software.
Kesempatan ini harus dijadikan motivasi untuk menumbuhkan semangat pengembangan software lokal di Indonesia. Pasar sudah mulai terlihat, jadi tinggal menunggu strategi kita untuk bertempur didalamnya.
Kehadiran perusahaan yang peduli mengembangkan produk IT lokal akan semakin memperkuat image bahwa produk IT lokal “siap bersaing” dengan produk IT asing. Dengan demikian produk IT lokal pun harus sudah siap menghadapi krisis global yang selama ini melanda bangsa kita.
Sumber: Oleh Sidik M Nasir | Harian Umum PELITA, Selasa, 10 Februari 2009