India kembali membuat gebrakan di bidang Teknologi Informasi (TI). Negeri yang mendapat julukan Lembah Silicon Asia (Silicon Valley of Asia), karena kemampuannya menyaingi Amerika Serikat (AS) sebagai negeri pesohor TI, akan merilis laptop super murah. Menurut CyberNews (Januari 2009), laptop bernama Sakshat yang berarti “Di Depan Mata” dalam bahasa Hindi, akan dijual hanya seharga 500 Rupee atau setara dengan Rp 121.373.
Harga super ringan Sakshat ini juga jauh lebih di bawah rancangan laptop termurah sebelumnya, yakni OLPC (One Laptop per Child). Laptop rancangan Profesor Nicholas Negroponte yang rencananya mulai dipasarkan tahun lalu itu, dipatok seharga US$100 atau sekitar Rp 1.170.000 (dalam kurs 11.700 per dolar AS). Artinya, harga Sakshat kurang dari seperpuluh harga OLPC.
Kemajuan industri IT negeri Sungai Gangga ini memang sangat fenomena. Bahkan kini salah satu kotanya, Bangalore, telah menjadi kiblat TI dunia. Hampir semua industri TI raksasa membuka kantor di kota ini, seperti Microsoft, IBM, Infosys dan Wipro.
Reputasi TI India juga telah menyebar ke seantero dunia, termasuk ke dedengkotnya TI, AS. Ini dibuktikan dari banyaknya tenaga TI di India di negeri Barrack Obama tersebut. Sebagai gambaran saja, pada era 1990-an, dari 150 ribu pekerja asing yang bekerja di perusahaan TI AS, sebanyak 60 ribu diantaranya adalah para pakar software dari India. Artinya, hampir 40% pekerja TI AS berasal dari negeri Gandhi ini.
Era IT-Nomic
Futurolog Alvin Toffler dalam bukunya yang melegenda “Future Shock, The Third Wave” (1970) telah meramalkan berbagai perubahan dalam era peradaban manusia, dalam tiga gelombang, yaitu era (1) agraris, (2) industri, dan (3) Informasi.
Era agraris ditandai dengan kekayaan (aset) paling berharga dari suatu bangsa berbentuk tanah dan pertanian. Paradigma ini juga melatarbelakangi perkembangan kolonialisme. Sebab, semakin luas tanah suatu negara maka semakin makmur juga negara tersebut. Walhasil suatu negara selalu berusaha menaklukkan negara lain untuk menguasai tanahnya.
Namun, penemuan berbagai teknologi pabrikan, ditandai dengan mesin uap ciptaan James Watt (1908), jadi akhir era agraris dan lahirnya era industri. Berbeda dengan era agraris yang memuja tanah, di era industri yang jadi kekayaan utama perusahaan adalah produk, volume penjualan, dan ujung-ujungnya laba. Inilah yang kemudian melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa yang merambah ke berbagai negara (multinational company).
Selain itu, era industri juga ditandai dengan penghapusan kolonialisme setelah dunia melalui PBB (1948) mendeklarasikan bahwa penjajahan di muka bumi harus dihapuskan. Namun, meski sebenarnya kolonialisme telah berakhir, tetapi “penjajahan” bentuk baru telah lahir. Ia bernama produk impor.
Gelombang berikutnya peradaban manusia adalah era informasi. Era ini dimulai sekitar 1960-an dengan berkembangnya industri informasi (televisi dan radio). Namun, baru 1990-an era informasi mendapat momentumnya, yaitu TI makin dikenal luas masyarakat. Kemajuan TI membuat dunia seperti tak lagi memiliki batasan (Borderless). Lewat medium TI (satelit atau internet) kesenjangan informasi yang dulu terjadi antara negara maju, berkembang, dan miskin, makin menghilang. TI telah membangun jembatan yang menghubungkan semua umat manusia di berbagai belahan dunia (social networking).
Selain itu, kontribusi terbesar TI adalah menciptakan revolusi baru dalam peta perekonomian dunia. Disadari atau tidak, kini perkembangan ekonomi dunia sangat tergantung dari maju mundurnya industri TI negara tersebut. Jadi, pantaslah jika pesatnya perkembangan industri TI telah ikut melahirkan paradigma baru dalam konsep perekonomian global, yang kita sebut saja sebagai IT-Nomic, yaitu suatu strategi ekonomi yang berbasis industri TI lokal.
Mengapa berbasis industri TI lokal? Alasannya, manfaat ekonomi TI hanya bisa optimal jika prduknya berasal dari dalam negeri . inilah yang dirasakan oleh India. Dengan fokus mengembangkan industri TI lokal, India menjelma jadi macan ekonomi baru dunia.
Pesatnya perkembangan industri TI lokal India, telah mengangkat perekonomian negeri itu mencatat rekor tumbuh tercepat kedua setelah China. Bahkan kedepan diperkirakan India bersama China akan menjelma menjadi kekuatan besar setara (atau melebihi?) AS dan Uni Eropa.
Goldman Sach, salah satu lembaga keuangan paling ternama di AS, memprediksi pada 2015 Produk Domestik Bruto (PDB) India akan mengalahkan Italia, tahun 2020 mengalahkan Prancis, dan Jerman pada tahun 2025. Selanjutnya, India akan mengalahkan PDB Jepang di 2030, serta AS pada 2040. Artinya, di tahun 2040, India akan tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi di dunia.
Inovasi TI Lokal
Bagaimana dengan Indonesia? Sejatinya, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemain penting dalam era IT-Nomic. Apalagi produk-produk TI Indonesia pada dasarnya mampu bersaing kualitas dengan produk mancanegara. Misalnya, produk software (perangkat lunak) akuntansi merek Zahir Accounting.
Software hasil karya PT Zahir Internasional telah tiga kali berturut-turut memenangkan penghargaan prestisius dari Asia Pacific Information Communication Technology Alliances (APICTA Award) pada tahun 2002, 2003, 2004. Selain itu, kata Chairman PT Zahir Internasional, Fadil Fuad Basymeleh (37 tahun), software Zahir Accounting telah digunakan lebih dari 8.000 perusahaan, baik lokal, nasional maupun yang berafiliasi dengan asing. Ini menjadi bukti karya TI anak negeri tak kalah dengan produk manca negara.
Sayangnya, meski sebenarnya kualitas produk TI lokal tak kalah dengan produk TI luar, harus diakui masih banyak masyarakat kita yang berwatak “asing minded”. Inilah yang menjadi tantangan terbesar bagi produsen TI nasional, bagaimana cara merubah pandangan masyarakat yang sudah karatan dan keliru tersebut.
Berkaca dari pengalaman Fadil ketika membangun Zahir, ada dua kunci utama untuk membuat produk TI lokal mampu bersaing dengan produk global, yaitu (1) Terus menerus melakukan inovasi dan (2) Jeli melihat ceruk pasar yang tepat.
Dalam berinovasi, produsen TI seyogyanya tidak hanya terpaku pada produk tetapi juga dalam strategi pemasarannya. Inilah yang dilakukan Fadil dengan meluncurkan software akuntansi inovatif bernama Zahir Merdeka dengan sistem sewa pada akhir tahun lalu.
Secara sepintas mekanisme sewa Zahir Merdeka mirip dengan membeli Starterkit Zahir Merdeka, lalu pilih edisi sesuai kebutuhan.
Ada empat pilihan paket software Zahir Merdeka yang bisa disewa konsumen sesuai kebutuhannya dengan masa aktif selama 30 hari, yaitu (1) Small Business Accounting (Rp 34.000), Flexy Money (Rp130.000), Flexy Trade (Rp137.000), dan Personal (Rp137.000).
Selanjutnya, konsumen tinggal memilih periode transaksi yang ingin diaktifkan. Lalu melakukan aktivasi voucher Zahir Merdeka. Maka software akuntansi ini pun suap untuk digunakan. Jika masa aktif telah habis, konsumen tinggal melakukan aktivasi ulang membeli voucher prabayar, layaknya mengisi pulsa telepon, atau bisa juga mendatangi counter Zahir untuk memperpanjang masa penyewaan.
Tentu saja kehadiran software akuntansi yang inovatif ini seperti menjadi solusi hemat bagi para Usaha Kecil Mikro dan Koperasi (UKMK) yang memerlukan software akuntansi namun masuh ragu mengeluarkan investasi besar di bidang TI.
Pengusaha UKMK memang jadi target utama Zahir. Ini juga salah satu strategi agar mampu bersaing dengan produsen multinasional. Dengan memilih ceruk pasar UKMK, Zahir secara cerdas memilih ceruk pasar yang belum banyak digarap oleh produsen multinasional, yang lebih fokus pada pasar korporasi.
Padahal segmen UKMK ini sangat potensial. Menurut hitungan Fadil, di Jakarta saja minimal sekitar 700 ribu UKMK dengan potensi pasar pasarnya mencapai Rp 35 Miliar. Apalagi UKMK ini sebenarnya sangat butuh software akuntansi yang baik. Sebab, banyak sekali kasus di mana UKMK yang bagus dan berprospek namun kesulitan ketika ingin mendapat pinjaman modal pada bank. Pasalnya, mereka dianggap tidak bankable karena tak memiliki laporan pembukuan akuntansi yang layak. Disinilah software seperti Zahir jadi solusi bagi masalah UKMK tersebut.
Pembuktian Fadil dan Zahir-nya yang bersaing dengan produk-produk global, sepatutnya bisa menjadi moticasi bagi produsen TI lokal lain untuk terus berinovasi dan membangun industri TI demikian, Indonesia bisa jadi pemain penting dalam era IT-Nomic, seperti India, dan bukan hanya sebagai konsumen. Semoga
Sumber: Oleh Prayogo P. Harto | Harian Ekonomi NERACA, Jum’at, 13 Februari 2009