Perpajakan

Aspek Perpajakan Dalam Ruang Lingkup Bisnis Online

Perkembangan teknologi digital yang sangat pesat secara otomatis juga mempengaruhi gaya hidup orang-orang yang ada didalamnya. Akses internet yang semakin mudah dan murah didukung dengan tersedianya berbagai jenis gadget menjadikan siapapun semakin mudah dalam mengakses informasi. Pengguna internet yang semakin besar inilah yang mendorong munculnya berbagai situs jual beli online, yang memungkinkan antara penjual dan pembeli dapat bertransaksi di dunia maya, tanpa harus bertatap muka. Transaksi online ini acapkali disebut dengan e-commerce. Dengan berbagai kemudahan, seperti penjual tidak perlu menyewa tempat, stok barang, atau menyewa pegawai menjadikan e-commerce sebagai salah satu bisnis yang paling diminati.

Melihat pertumbuhan e-commerce yang sangat pesat, maka diperlukan strategi yang efektif bagi otoritas perpajakan dalam menyikapinya. Yang harus diperhatikan adalah tetap menjaga pertumbuhan yang pesat ini agar tidak terjadi distorsi yang diakibatkan oleh kebijakan perpajakan. Selama ini aspek perpajakan dalam e-commerce menjadi sorotan otoritas perpajakan, apakah transaksi ini dikenakan pajak dan bagaimana menyeimbangkan antara peraturan perpajakan yang ada dengan perkembangan e-commerce.

Melihat perkembangan yang sangat cepat dari pertumbuhan e-commerce di dunia termasuk di Indonesia, maka diperlukan suatu strategi yang efektif bagi otoritas perpajakan dalam menyikapinya. Salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah pertumbuhan yang sangat pesat ini harus tetap dijaga agar tidak terjadi distorsi sebagai akibat kebijakan perpajakan. Selama ini, aspek perpajakan dalam e-commerce telah menjadi sorotan otoritas perpajakan di dunia, terutama apakah harus ada pengenaan pajak baru terhadap transaksi ini dan juga bagaimana menyelaraskan peraturan perpajakan yang ada dengan perkembangan ecommerce.

Beberapa negara yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) sepakat bahwa setiap perubahan pada aspek perpajakan bagi e-commerce dilakukan melalui kerja sama dan perjanjian internasional dengan berdasarkan pada prinsip dasar perpajakan. Lima prinsip dasar perpajakan tersebut adalah: neutrality, efficiency, certainty and simplicity, effectiveness and fairness dan flexibility, prinsip ini juga berlaku bagi semua perdagangan non ecommerce.

Pada tahun 1998, Amerika Serikat menerapkan Internet Tax Freedom Act. Setelah mengalami beberapa kali perpanjangan, kemudian berakhir pada November 2014. Peraturan ini melarang tidak dikenakannya pajak pada: akses internet, penggunaan bandwith internat dan penggunaan email. Namun demikian ketentuan perpajakan yang berlaku bagi perdagangan konvensional berlaku sama dengan e-commerce.

Perpajakan

Kanada menetapkan bahwa bisnis yang dilakukan secara online diperlakukan sama seperti bisnis biasa. Pendapatan dari e-commerce termasuk dalam kategori pendapatan biasa dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang pajak penghasilan yang berlaku. Ketentuan tersebut juga berlaku pada perdagangan yang terkena pajak penjualan, seperti GST (Goods and Service Tax) dan HST (Harmonized Sales Tax).

Beberapa negara mengambil sikap wait and see terkait pajak e-commerce. Hanya Uni Eropa yang berbeda, dimana jika seseorang menjual barang dan jasa melalui internet dan memenuhi nilai penjualan dalam batas tertentu, maka wajib untuk mendaftarkan dirinya di salah satu negara Uni Eropa dan mengenakan PPN bagi pembelinya.

Yang harus diperhatikan adalah, dengan tidak adanya ketentuan pajak baru bukan berarti e-commerce bebas pajak. Perlakuan pajak yang sama perlu diterapkan bagi pengusaha online agar prinsip keadilan dalam pengenaan pajak dapat dipenuhi. Hal yang tidak adil jika seorang menjalankan usaha toko makanan harus membayar pajak atas penghasilan yang didapatkannya, sementara orang lain yang menjual makanan melalui toko online tidak dikenakan pajak.

Karena itu pihak perpajakan di Indonesia hendaknya memberikan awareness agar pengusaha e-commerce menyadari kewajiban perpajakannya. Selain itu beberapa peraturan perundangan perpajakan yang sudah berlaku harus kembali ditegaskan dalam bisnis e-commerce, seperti jika ada pengusaha e-commerce memiliki banyak toko online dengan lokasi server yang berbeda, apakan diperlakukan sama dengan WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) yang wajib mendaftarkan diri di setiap tempat kegiatan usaha.

Sampai saat ini belum nampak pengaruh aspek perpajakan dari e-commerce yang signifikan, hanya penegasan atas perlakuan perpajakan e-commerce dianggap cukup. Untuk itu perlu adanya komunikasi kepada pelaku e-commerce bahwa penegasan tersebut bukan pengenaan pajak yang baru terhadap e-commerce, melainkan penegakan keadilan bagi pelaku usaha. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi untuk menghindari penolakan terhadap aturan penegasan tersebut.